Jumat, 26 Februari 2016

Relativitas, Sore yang Begitu Larut di Kudus

Saya tidak sedang dan tidak akan menjelaskan tentang salah satu teori terbesar di abad 20. Sebuah teori dari salah satu ilmuan paling terkenal, Albert Einstein. Teori yang kita kenal dengan teori relativitas. Teori yang menjelaskan bahwa semua hukum fisika akan berlaku di manapun tempatnya. Yang menjelaskan bahwa di dunia ini tidak ada yang mutlak, semua berdasarkan acuan-acuannya.

Saya hanya sedikit membagikan pengalaman tetang betapa tidak mutlaknya yang terjadi di bumi. Tidak dengan rumus-rumus fisika yang rumit, bukan pula dengan hasil pengamatan empiris. Tetapi hanya berdasar asumsi atau lebih tepatnya adalah perasaan. Tidak ada yang salah dalam mengandalkan perasaan, toh ini bukan suatu pembuktian akan teori relativitas.

Sudah seminggu-an saya tinggal di Kudus. Secara umum, sosial-budaya di Kudus tidak jauh berbeda dengan Wonogiri, tempat di mana aku di lahirkan dan dibesarkan, serta Jogja, tempatku menggali ilmu selama lebih dari 5 tahun. Semuanya baik, relatif murah, dan ramah. 

Satu perbedaan yang mencolok adalah suasana malam. Pada jam yang sama, suasana di ketiganya begitu terasa perbedaannya. Di Jogja, suasana larut baru terasa sekitar tengah malam. Di Wonogiri, suasana larut baru terasa pada lebih dari jam sepuluh an. Tapi di Kudus, pukul 20 an sudah terasa larutnya.

Dari segi keramaian, Jogja lebih ramai dari kudus, dan wajar jika larut malam di jogja berada di jam yang lebih malam. Tetapi, di Wonogiri, tidak dapat sebenarnya dibandingkan dengan Kudus. Wonogiri sedikit atauh bahkan jauh lebih sepi dari Kudus. Namun, suasana larut di Wonogiri juga lebih malam daripada Kudus. 

Terdapat beberapa kemungkinan mengapa hal tersebut terjadi. Yang pertama karena faktor keramaian kota. Kota yang lebih ramai pada umumnya memiliki suasana larut malam pada jam yang lebih malam. Namun ini hanya berlalaku pada perbandingan Jogja-Kudus, tidak berlaku untuk Kudus-Wonogiri. Faktor kedua adalah kondisi psikologis atau apapun namanya, manusia yang berada di sana. Kenyataannya, di Jogja, saya masih melakukan segala sesuatu “seenaknya”. Tidak terdapat jadwal baku yang mengatur semua aktivitasku. Pun demikian di Wonogiri, di sana aktivitasku lebih semaunya. Dan ditambah lagi dengan keluarga. Tidak ada yang lebih memberikan kenyamaan daripada berkumpul dengan keluarga. Sementara di Kudus, hampir sepertiga bagian waktu setiap harinya harus mengikuti pola dan jadwal yang baku. 

Satu hal yang dapat diambil pelajaran. Jam itu baku, tetapi waktu yang menyertai di setiap detik jam adalah relatif. Manusia bisa membuat atau merasakan satu jam begitu panjang atau juga begitu pendek. Begitu menyenangkan atau begitu mengecewakan. Dan seberuntung-beruntungnya manusia adalah yang mampu mengambil pejalaran di setiap detik yang Tuhan berikan. Yang mampu memperbaiki diri di setiap kesempatan hidup yang dianugerahkan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar