Dalam kepanikan yang semakin menjadi ditambah lelahnya berjalan menyisir lapak, keringat Dendi mengucur dengan deras. Baju abu-abu terang bertambah gelap akibat basah keringat. Belum ada sedikitpun tanda kalau Dendi ingin beristirahat. Sebaliknya, dia berjalan semakin cepat untuk dapat menelesaikan penyisiran semua lapak yang ada di pasar.
“Kita sudah menyusuri hampir semua lapak yang ada di pasar ini Den. Lapak gadget, sepatu, pakaian, jam, helm, onderdil kendaraan sudah kita susuri. Penjual barang-barang baru dan second pun sudah kita datangi. Sebenarnya apa yang kamu cari?”, Tommy yang menemani Dendi akhirnya angkat bicara. Lelahnya yang akhirnya memaksa Tommy untuk bertanya. Biasanya Tommy hanya akan diam saja ketika Dendi sedang panik.
“Kalau kamu capek, istirahat aja Tom! Nanti aku samperin kalau sudah selesai. Lagian pasar klitikan ini kan gak gede-gede banget. Bentar lagi juga tersisir semua lapaknya”
“Kamu nyari apa? Dari tadi cuma jalan, gak ada satupun pedagang yang kita tanyain”
“Aku denger di pasar ini kita bisa nemuin barang yang ilang. Ya aku ke sini buat nyari barangku yang ilang”
“Ilang? Emang apamu yang ilang Den? Bukankah dari kemarin kamu tenang seperti tidak pernah kehilangan apapun?!”
“Cinta. Cintaku yang hilang, Tom”
“Aku istirahat aja Den! Menurutku kamu salah lokasi buat nyari Den! Harusnya kamu ke Pakem, ke salah satu rumah sakit jiwa di sana. Yang ilang itu bukan cintamu, tapi kewarasanmu!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar