Jumat, 18 Maret 2016

Dialog Diri, Motivasi Lewat Mimpi

“Bangsat seperti apa kamu ini?”, terikan keras itu berasal dari luar kamar Bills. Teriakan disertai dengan gedoran-gedoran pada pintu kamar. Senyenyak apapun orang tidur, pasti akan terbangun oleh hal semacam itu. 

“Bangun bangsaat! Mau jadi apa kamu kalau jam segini masih tidur?”, ketiadaan jawaban dari dalam kamar membut Zats harus mengeluarkan dua kalimat tambahan. Mengeluarkan energi lebih banyak lagi untuk membangunkan saudaranya. 

Tanpa sepatah katapun menjawab pertanyaan saudaranya, Bills langsung membuka pintu. Terlihat kamar berukuran 3 x 3 meter sangat berantakan. Buku, sarung, dan pakaian entah bersih atau kotor berserakan di atas kasur. 

“Bisa lebih sopan gak sih manggilnya? Ayah dan ibuku, yang juga orang tua mu memberi aku sebuah nama yang baik. Nama yang juga merupakan doa keduanya untuk ku. Harapan yang digantungkan kepadaku.”

“Doa? Harapan? Tak ada sedikitpun keraguanku atas kebaikan dan keberkahan doa ayah dan ibu untukmu. Lalu apa yang sudah kamu usahakan atas doa dan harapan itu Bills? Apa yang selama ini telah kamu upayakan untuk setidaknya memperjuangkan impianmu?

Tidak sepatah katapun keluar dari mulut Bills. Tidak ada pembelaan sedikitpun atas lontaran kata-kata Zats kepadanya. Bills hanya terdiam, seolah memikirkan sesuatu. Merenungi dan mungkin menyadari semua kesalahan dan ketidakmampuannya mengontrol dirinya sendiri.

“Apakah cukup hanya menggantungkan harapan pada doa orang tua kita yang selalu menyertaimu pada namamu? Apakah cukup hidup dengan hanya bermimpi tanpa pernah sedikitpun berusaha untuk mencapai mimpi itu? Jawab Bills! Jawab bangsat!”

Lidah Bills semakin kelu, dia semakin tertunduk lesu. Mendalami kenangan bersama kedua orang tuanya yang sudah terlebih dahulu berada di surga. Menyadari tidak banyak yang mampu dia berikan kepada orang tuanya. Tidak sedikitpun kebahagiaan dia hadirkan untuk keduanya. Perlahan air mata mengalir membasahai kedua sisi pipinya. Dia menangis, hal yang terakhir kali dilakukannya sekitar satu dasawarsa yang lalu, tepat di hari ketika ibunya dipanggil Yang Kuasa. 

“Aku tahu dalam pikiranmu Bills. Aku tahu betul sayangmu kepadanya. Aku tahu keinginanmu untuk membahagiakannya. Bahkan aku juga tahu usahamu yang mengarah ke sana. Tapi itu sepuluh tahun yang lalu. Dan setelah itu aku tidak pernah lagi melihat adik ku yang selalu bekerja keras mengejar mimpinya. Berusaha membahagiakan orang tua. Berusaha membantu semua anggota keluarga besar kita. Berusaha bermanfaat dan berguna untuk siapa saja”

“Ayolah Bills! Masa depanmu masih panjang. Masih banyak yang harus kamu usahakan. Banyak yang seharusnya kamu perjuangkan. Kamu memiliki pengetahuan dan kecerdasan yang akan sangat berguna untuk memperbaiki atau setidaknya membantu kehidupan keluarga besar kita. Kepandaian yang dari dulu selalu dibanggakan orang tua kita atasmu. Apa kamu lupa apa yang selalu Mbak Sri wanti-wantikan kepada Arsyah, anaknya? Mbak Sri selalu bilang agar Arsyah nantinya bisa cerdas, pandai, berpengetahuan tinggi seperti Om nya. seperti dirimu Bills.”

Air mengalir semakin deras dari mata Bills. Bills menarik nafas dalam-dalam, mencoba merangkai kata untuk menjawab dan berkomentar atas pertanyaan dan saran Zats. Namun, semakin keras usaha Bills untuk berucap, semakin susah pula kata keluar dari mulutnya. Lagi-lagi, tidak ada sepatah katapun keluar dari mulut Bills, hanya terdengar sedikit isak tangis yang mencoba ditahannya.

“Ikutlah kompetisi dari kehidupan yang sesungguhnya dengan orang-orang diluaran sana! Terserah kamu akan mengalahkan mereka seperti pada lomba-lomba yang sejak belia kamu terbiasa memenangkannya. Namun saranku, berlombalah untuk memacumu lebih maju. Berlombalah untuk menjadi lebih baik. Lebih bermanfaat dan berguna untuk orang lain. Tapi sebelumnya, berlomba dan berkompetisilah dengan dirimu sendiri! Jika mungkin orang lain tidak perlu kamu kalahkan, maka dirimu harus kamu kalahkan. Lawanlah kemalasanmu! Buangah semua waktu tidak bergunamu!”

Zats menarik tangan Bills untuk mengajaknya keluar rumah. Tanpa perlawanan Bills mengikuti langkah Zats untuk keluar rumah.

“Bills-Bills, bangun! Anterin Dik Arsyah sekolah!”

Bills buru-buru bangun dan keluar kamar. Di meja makan, ada ibu, ayah, Arsyah, dan Zats. Mereka makan bersama untuk selanjutnya bekerja dan pergi ke sekolah. Bills berdiri sejenak sambil sedikit garuk-garuk kepala. Dengan tidak menunggu waktu lama, Bills ikut gabung sarapan bersama keluarganya.

“Syukurlaah”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar