Senin, 30 Mei 2016

Mencari Barang Hilang di Pasar Klitikan

Dalam kepanikan yang semakin menjadi ditambah lelahnya berjalan menyisir lapak, keringat Dendi mengucur dengan deras. Baju abu-abu terang bertambah gelap akibat basah keringat. Belum ada sedikitpun tanda kalau Dendi ingin beristirahat. Sebaliknya, dia berjalan semakin cepat untuk dapat menelesaikan penyisiran semua lapak yang ada di pasar.

“Kita sudah menyusuri hampir semua lapak yang ada di pasar ini Den. Lapak gadget, sepatu, pakaian, jam, helm, onderdil kendaraan sudah kita susuri. Penjual barang-barang baru dan second pun sudah kita datangi. Sebenarnya apa yang kamu cari?”, Tommy yang menemani Dendi akhirnya angkat bicara. Lelahnya yang akhirnya memaksa Tommy untuk bertanya. Biasanya Tommy hanya akan diam saja ketika Dendi sedang panik. 

“Kalau kamu capek, istirahat aja Tom! Nanti aku samperin kalau sudah selesai. Lagian pasar klitikan ini kan gak gede-gede banget. Bentar lagi juga tersisir semua lapaknya”

“Kamu nyari apa? Dari tadi cuma jalan, gak ada satupun pedagang yang kita tanyain”

“Aku denger di pasar ini kita bisa nemuin barang yang ilang. Ya aku ke sini buat nyari barangku yang ilang”

“Ilang? Emang apamu yang ilang Den? Bukankah dari kemarin kamu tenang seperti tidak pernah kehilangan apapun?!”

“Cinta. Cintaku yang hilang, Tom”

“Aku istirahat aja Den! Menurutku kamu salah lokasi buat nyari Den! Harusnya kamu ke Pakem, ke salah satu rumah sakit jiwa di sana. Yang ilang itu bukan cintamu, tapi kewarasanmu!”

Gerakan Sehari Tanpa Membungkus Nasi

Bukan maksud saya untuk melarang orang lain untuk berhemat dengan membawa bekal makanan dari rumah. Bukan pula menghalangi penerapan pola hidup higienis yang diterapkan dengan cara mengkonsumsi makanan yang dimasak sendiri. Bukan membungkus nasi dalam batasan bekal, tetapi membungkus nasi dalam arti yang sebenarnya. Membungkus nasi dalam pengertian membeli nasi di warung, membungkusnya dengan kertas minyak, kemudian dibawa keluar dari tempat membelinya. 

Di lingkungan rumah, sekolah, ataupun perusahaan dan pabrik-pabrik pasti terdapat penjual makan yang menawarkan beraneka macam masakan. Demi alasan kepraktisan atau efisiensi waktu, banyak diantara orang-orang yang membungkus nasi kemudian dimakan di rumah, dalam kelas, ataupun perusahaan dan pabrik-pabrik.

Lantas apa yang menjadi masalah?

Jika dalam satu pabrik terdapat 1000 karyawan yang 50 persen-nya membungkus nasi, maka sudah terdapat 500 kertas minyak bekas yang sudah beralih status menjadi sampah. Jika satu lembar kertas minyak memiliki bobot 10 gram, maka akan ada 5 kg kertas yang sudah berstatus menjadi sampah. Bisa dihitung berapa jumlah sampah kertas minyak yang dihasilkan dalam sehari dari sejumlah perumahan, sekolah, dan perusahaan?

Bukan hal yang mendesak, tetapi penting untuk diperhatikan. Penting karena terdapat potensi masalah yang lebih besar jika dibiarkan berlarut. Gerakan sehari tanpa membungkus nasi hanyalah satu dari sekian banyak solusi yang mungkin dapat menyelesaikan masalah. Tetapi, lebih dari itu, gerakan sehari tanpa membungkus nasi adalah salah satu bentuk kesadaran partisipatif kita terhadap isu-isu lingkungan yang ada. 

Jadi buat apa membungkus nasi yang justru menghasilkan lebih banyak sampah? Bukankah memakan langsung di warung bersama teman membuat pikiran lebih cerah tanpa menambah lebih banyak sampah?!

Kamis, 26 Mei 2016

Menjaga Kewarasan dengan Berliterasi

Telah hilang sebagian kewarasan dalam diri kita, manusia. Iki jaman edan, sopo sik ora ngedan ora bakal keduman. Orang-orang harus saling mengalahkan untuk mendapatkan sesuap nasi, harus saling sikut dan menjatuhkan untuk mengumpulkan rejeki. Manusia berlomba menciptakan sensasi untuk mempertahankan eksistensi diri.

Sensasi, telah menjalar ia kepada sendi-sendi yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Yang semula hanya berkutat pada jagat hiburan, sensasi kini telah sampai pada aras-aras pemikiran, aras logika. Literasi dalam makna yang sempit, “membaca dan menulis” telah disusupi oleh antek-antek pemuja sensasi. Baca-tulis yang belum menjadi budaya pada kenyataannya mampu menciptakan perselisihan, merongrong persaudaraan dan memecah belah persatuan.

Berita dan informasi yang siapa saja dapat memproduksi, mengkonsumsi, dan mengkritisi menjadi alat penyebar kebencian yang baru. Kebenaran disamarkan dan fakta diarahkan kepada golongan pemiliki kepentingan. Informasi yang seharusnya mengokohkan dasar pengambilan keputusan dan tindakan faktanya justru mengacaukan nalar. Logika dibenamkan oleh banyaknya kebenaran umum yang beredar. Tidak ada yang abu-abu. Adanya hitam atau putih. Dan keduanya memliki pendukung yang sama banyaknya. 

Sabtu, 07 Mei 2016

Euforia Lulus Setingkat Sekolah Menengah Atas

Manusia normal pasti akan bahagia mendengar kabar gembira. Tidak terkecuali mereka yang sudah ketiga kalinya dinyatakan lulus dari satuan tingkat pendidikan. Lulus SD, SMP, dan SMA atau yang sederajatnya. Pengumuman kelulusan SMA membawa serta kebahagian bagi mereka yang dinyatakan lulus ujian. Tiga sampai empat hari yang menentukan hasil perjuangan selama tiga tahun terlewati sudah. Terlewati dengan ujung yang menggembirakan.

Kegembiraan yang menjurus pada euforia. Kegembiraan pribadi yang kemudian merugikan atau paling tidak merugikan orang lain. Momen kelulusan yang dirayakan dengan corat-coret baju dan konvoi. Tidak ada yang dirugikan dengan corat-coret seragam, walaupun sebenarnya akan lebih bermanfaat ketika baju diberikan kepada orang yang lebih membutuhkan. Dan tidak ada yang diuntungkan dari konvoi yang dilakukan. Justru kecenderungan untuk menimbulkan kerugian yang terjadi. Berkendara keliling kota dengan knalpot berisik, ugal-ugalan, dan tidak mengindahkan tata tertib berlalu lintas selain mengganggu tentu saja membahayakan keselamatan. 

Anehnya, beberapa pihak yang seharusnya memberikan arahan dan mengatur ketertiban justru seolah permisif dengan apa yang terjadi. Hanya setahun sekali, untuk merayakan kebahagiaan, atau mungkin sudah menjadi tradisi tahun ke tahun menjadi dalih pembiaran.