Sabtu, 07 Mei 2016

Euforia Lulus Setingkat Sekolah Menengah Atas

Manusia normal pasti akan bahagia mendengar kabar gembira. Tidak terkecuali mereka yang sudah ketiga kalinya dinyatakan lulus dari satuan tingkat pendidikan. Lulus SD, SMP, dan SMA atau yang sederajatnya. Pengumuman kelulusan SMA membawa serta kebahagian bagi mereka yang dinyatakan lulus ujian. Tiga sampai empat hari yang menentukan hasil perjuangan selama tiga tahun terlewati sudah. Terlewati dengan ujung yang menggembirakan.

Kegembiraan yang menjurus pada euforia. Kegembiraan pribadi yang kemudian merugikan atau paling tidak merugikan orang lain. Momen kelulusan yang dirayakan dengan corat-coret baju dan konvoi. Tidak ada yang dirugikan dengan corat-coret seragam, walaupun sebenarnya akan lebih bermanfaat ketika baju diberikan kepada orang yang lebih membutuhkan. Dan tidak ada yang diuntungkan dari konvoi yang dilakukan. Justru kecenderungan untuk menimbulkan kerugian yang terjadi. Berkendara keliling kota dengan knalpot berisik, ugal-ugalan, dan tidak mengindahkan tata tertib berlalu lintas selain mengganggu tentu saja membahayakan keselamatan. 

Anehnya, beberapa pihak yang seharusnya memberikan arahan dan mengatur ketertiban justru seolah permisif dengan apa yang terjadi. Hanya setahun sekali, untuk merayakan kebahagiaan, atau mungkin sudah menjadi tradisi tahun ke tahun menjadi dalih pembiaran. 

Alasan-alasan yang sebenarnya sedikit tidak masuk akal. Tidak seharusnya tradisi yang lebih banyak memberikan mudharat dibiarkan berkembang. Sedikit-sedikit harus mulai dikurangi dan pada akhirnya dihilangkan. Merayakan kebahagiaan? Mereka layak merayakan kebahagiaan jika selama tiga tahun masa bersekolah dilalui dengan penuh keprihatinan, penuh perjuangan. Faktanya, tidak sedikit diantara mereka yang penuh kesenangan sewaktu menjalani masa bersekolah. Dan seharusnya, tidak worth it lagi kelulusan di-euforia-kan.

Sekolah dan mungkin pihak kepolisian dapat berkolaborasi untuk memutus mata rantai tradisi yang tidak semestinya dipelihara ini. Jika anjuran tidak lagi diindahkan, alternatif kegiatan tidak dilakukan, maka semacam aturan yang mengancam perlu dibuatkan. Aturan yang tidak bertujuan untuk memberikan efek jera. Aturan yang merangsang lulusan untuk berpikir akan konsekuensi atas tindakan yang dilakukan. Aturan yang membuat siswa berlatih berpikir maju ke depan.

Pihak sekolah dapat menahan legalisasi fotokopi ijazah bagi setiap lulusan yang “bermasalah”. Pihak kepolisian pun dapat pula memberikan catatan pada surat keterangan catatan kepolisian. Dua berkas yang memiliki urgensi baik untuk administrasi melanjutkan pendidikan ataupun untuk melamar pekerjaan.

Sekali lagi, bukan untuk menimbulkan efek jera. Hanya membuat para lulusan berpikir akan kebermanfaatan dari yang mereka lakukan. Membuat mereka berpikir jauh ke depan, suatu aktivitas yang akhir-akhir ini jarang diperlihatkan. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar