Senin, 30 Mei 2016

Gerakan Sehari Tanpa Membungkus Nasi

Bukan maksud saya untuk melarang orang lain untuk berhemat dengan membawa bekal makanan dari rumah. Bukan pula menghalangi penerapan pola hidup higienis yang diterapkan dengan cara mengkonsumsi makanan yang dimasak sendiri. Bukan membungkus nasi dalam batasan bekal, tetapi membungkus nasi dalam arti yang sebenarnya. Membungkus nasi dalam pengertian membeli nasi di warung, membungkusnya dengan kertas minyak, kemudian dibawa keluar dari tempat membelinya. 

Di lingkungan rumah, sekolah, ataupun perusahaan dan pabrik-pabrik pasti terdapat penjual makan yang menawarkan beraneka macam masakan. Demi alasan kepraktisan atau efisiensi waktu, banyak diantara orang-orang yang membungkus nasi kemudian dimakan di rumah, dalam kelas, ataupun perusahaan dan pabrik-pabrik.

Lantas apa yang menjadi masalah?

Jika dalam satu pabrik terdapat 1000 karyawan yang 50 persen-nya membungkus nasi, maka sudah terdapat 500 kertas minyak bekas yang sudah beralih status menjadi sampah. Jika satu lembar kertas minyak memiliki bobot 10 gram, maka akan ada 5 kg kertas yang sudah berstatus menjadi sampah. Bisa dihitung berapa jumlah sampah kertas minyak yang dihasilkan dalam sehari dari sejumlah perumahan, sekolah, dan perusahaan?

Bukan hal yang mendesak, tetapi penting untuk diperhatikan. Penting karena terdapat potensi masalah yang lebih besar jika dibiarkan berlarut. Gerakan sehari tanpa membungkus nasi hanyalah satu dari sekian banyak solusi yang mungkin dapat menyelesaikan masalah. Tetapi, lebih dari itu, gerakan sehari tanpa membungkus nasi adalah salah satu bentuk kesadaran partisipatif kita terhadap isu-isu lingkungan yang ada. 

Jadi buat apa membungkus nasi yang justru menghasilkan lebih banyak sampah? Bukankah memakan langsung di warung bersama teman membuat pikiran lebih cerah tanpa menambah lebih banyak sampah?!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar